Desa Sade, Lombok: Warisan Budaya Sasak yang Terjaga dalam Bingkai Tradisi

desa sade

Di tengah lanskap alam yang indah Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, terdapat sebuah desa adat yang tetap kokoh berdiri melawan arus modernisasi. Namanya Desa Sade, sebuah permata budaya yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang masyarakat Sasak—suku asli Lombok—dalam menjaga identitas, nilai-nilai, serta kearifan lokal mereka. Sebagai seorang ahli geografi iptogel yang telah mendalami lebih dari dua dekade dinamika desa-desa di Indonesia, saya memandang Desa Sade bukan sekadar tempat wisata, melainkan sebuah lanskap budaya yang sarat makna dan pelajaran penting tentang keberlanjutan tradisi.

Lokasi dan Akses

Desa Sade terletak di Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Berjarak sekitar 8 km dari Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid dan sekitar 45 menit perjalanan dari Kota Mataram, desa ini sangat mudah diakses oleh kendaraan roda dua maupun roda empat. Letaknya yang berada di jalur menuju kawasan wisata Mandalika menjadikan Desa Sade sebagai destinasi budaya yang strategis dan ramai dikunjungi.

Namun meski aksesibilitasnya tinggi, masyarakat Desa Sade tetap teguh menjaga kelestarian tradisinya. Mereka menerima kedatangan wisatawan, tapi tidak membuka ruang selebar-lebarnya untuk modernitas masuk tanpa batas. Inilah kekuatan khas desa ini: terbuka, tapi selektif.

Sejarah Singkat Desa Sade

Desa Sade telah ada sejak lebih dari 600 tahun lalu dan dihuni oleh masyarakat suku Sasak. Tidak banyak catatan tertulis mengenai sejarah pasti berdirinya desa ini, namun secara turun-temurun, penduduk lokal menyebutkan bahwa leluhur mereka telah bermukim di kawasan ini jauh sebelum masa kolonialisme.

Nama “Sade” sendiri diyakini berasal dari kata “Saqda” dalam bahasa Sasak kuno yang berarti “tempat tinggal.” Desa ini termasuk dalam 7 desa adat Sasak yang masih mempertahankan bentuk asli tata ruang, arsitektur rumah, serta sistem sosial-budayanya. Berbeda dengan desa lain yang mulai terpengaruh modernisasi, Sade tetap bertahan sebagai representasi autentik budaya Sasak.

Struktur Permukiman dan Tata Ruang

Secara topografis, Desa Sade berdiri di atas kontur lahan perbukitan landai. Permukiman diatur dengan pola konsentris dan adaptif terhadap kondisi lahan. Rumah-rumah adat dibangun saling berdekatan, biasanya mengikuti orientasi arah mata angin timur-barat sebagai simbol keseimbangan spiritual dan praktikal.

Arsitektur Rumah Adat Sade

Rumah tradisional di Sade disebut “Bale Tani”, dan semuanya dibangun dengan bahan-bahan alami. Lantai rumah terbuat dari campuran tanah liat dan kotoran kerbau, yang dipercaya membuat lantai lebih kuat dan sejuk. Masyarakat Sade bahkan memiliki tradisi mengepel lantai rumah menggunakan kotoran kerbau setiap beberapa minggu sekali sebagai bentuk “pembersihan suci”.

Atap rumah terbuat dari alang-alang kering yang dirangkai dengan teknik khusus agar tahan hujan dan panas. Sementara dinding rumah terbuat dari anyaman bambu yang disusun dalam bentuk horizontal dan vertikal (gedhek). Bale-bale tersebut dibagi menjadi dua jenis utama:

  • Bale Tani: rumah utama untuk keluarga.
  • Lumbung Padi (Lumbung): tempat penyimpanan hasil panen, berbentuk seperti jamur dengan tiang-tiang tinggi dan beratap kerucut.

Susunan rumah-rumah ini sangat khas dan sarat akan filosofi kehidupan masyarakat Sasak yang menghargai kesederhanaan dan harmoni dengan alam.

Sistem Sosial dan Kehidupan Sehari-hari

Struktur Sosial

Masyarakat Desa Sade menganut sistem sosial kolektif dengan nilai kekeluargaan yang sangat tinggi. Kepala desa (tokoh adat) berperan sebagai pemimpin spiritual dan administratif, memegang peranan penting dalam berbagai upacara adat dan keputusan sosial.

Sistem kekerabatan bersifat patriarkal, di mana garis keturunan dan kepemimpinan diturunkan melalui jalur ayah. Perempuan dalam budaya Sasak, khususnya di Sade, memiliki peran domestik yang kuat, terutama dalam menenun kain tenun tradisional (songket), yang tidak hanya menjadi simbol budaya tapi juga sumber ekonomi keluarga.

Tradisi Kawin Lari

Salah satu tradisi unik yang masih lestari di Desa Sade adalah “Merariq” atau kawin lari. Tradisi ini bukan berarti menculik secara paksa, tetapi merupakan bentuk simbolik dari proses lamaran. Seorang pria “menculik” perempuan yang dicintainya (dengan sepengetahuan perempuan itu), lalu setelahnya pihak keluarga akan melakukan mediasi adat dan pernikahan akan dirundingkan oleh kedua keluarga.

Merariq merupakan contoh tradisi yang merepresentasikan kearifan lokal dalam menyatukan dua keluarga besar, bukan hanya dua insan. Prosesnya melibatkan tokoh adat dan masyarakat luas, menunjukkan kuatnya nilai gotong royong dalam budaya Sasak.

Ekonomi dan Mata Pencaharian

Mayoritas penduduk Desa Sade menggantungkan hidup dari pertanian dan kerajinan tangan. Di sektor pertanian, mereka menanam padi, jagung, serta palawija dengan sistem tadah hujan. Lahan-lahan pertanian umumnya berada di luar kawasan permukiman dan digunakan secara bergiliran sesuai musim.

Tenun Ikat dan Songket

Kerajinan tenun adalah aktivitas ekonomi utama, terutama bagi perempuan. Setiap perempuan Sasak diajarkan menenun sejak kecil, bahkan dianggap belum pantas menikah jika belum bisa membuat satu kain tenun sendiri. Kain tenun di Sade tidak hanya dijual untuk wisatawan, tapi juga digunakan dalam berbagai upacara adat.

Motif dan warna pada kain tenun memiliki makna tertentu, seperti motif kembang cengkeh sebagai simbol cinta dan keharuman, atau motif keker sebagai lambang kekuatan dan perlindungan dari roh jahat.

Pariwisata Berbasis Budaya

Seiring meningkatnya kunjungan wisatawan, Desa Sade mulai mengembangkan pariwisata berbasis budaya. Namun pendekatan yang diambil tetap menjaga kearifan lokal. Tidak ada hotel atau penginapan modern di dalam desa. Sebaliknya, penduduk menyediakan homestay dengan konsep rumah tradisional.

Wisatawan dapat belajar menenun, mengikuti kegiatan pertanian, atau menyaksikan pertunjukan tari tradisional seperti Tari Peresean (adu ketangkasan menggunakan rotan dan tameng).

Kepercayaan dan Spiritualitas

Sebagian besar masyarakat Desa Sade memeluk agama Islam, namun mereka juga masih memegang teguh nilai-nilai animisme dan tradisi pra-Islam dalam kehidupan spiritual mereka. Upacara-upacara adat seperti “Nyiu” (ritual kematian) dan “Begawe” (syukuran panen) dilakukan dengan iringan doa, sesajen, dan tarian-tarian sakral.

Mereka percaya bahwa alam memiliki roh dan harus dihormati. Gunung Rinjani, sebagai contoh, dianggap sebagai tempat sakral yang menjadi sumber kehidupan spiritual masyarakat Sasak. Pandangan ini menjadikan masyarakat Desa Sade sangat menghargai alam dan hidup berdampingan secara harmonis.

Tantangan dan Harapan

Meskipun telah menjadi destinasi wisata terkenal, Desa Sade menghadapi tantangan besar, terutama dari sisi pelestarian budaya. Arus globalisasi dan modernisasi mulai masuk perlahan lewat teknologi dan gaya hidup anak muda. Ada kekhawatiran bahwa tradisi seperti tenun atau merariq akan kehilangan makna atau berubah menjadi sekadar tontonan.

Namun demikian, dengan sistem sosial yang masih kuat, serta dukungan dari pemerintah daerah dan lembaga pelestarian budaya, masyarakat Sade terus mengembangkan program pendidikan berbasis adat untuk generasi muda. Misalnya, pelatihan tenun sejak usia sekolah dasar, serta pelibatan remaja dalam festival budaya lokal.

Beberapa inisiatif juga dilakukan untuk digitalisasi produk tenun agar dapat dipasarkan lebih luas secara online tanpa harus mengubah esensinya. Ini membuktikan bahwa desa tradisional juga bisa adaptif tanpa kehilangan jati diri.

Penutup

Desa Sade bukan hanya tempat yang menarik secara visual, tetapi juga kaya akan nilai-nilai luhur, filosofi hidup, dan sistem sosial yang dapat menjadi model pembangunan berkelanjutan berbasis kearifan lokal. Dalam dunia yang serba cepat berubah, Desa Sade menjadi oase yang menunjukkan bahwa identitas budaya tidak harus dikorbankan demi kemajuan.

Sebagai seorang ahli geografi yang telah mengunjungi ratusan desa di Indonesia, saya percaya bahwa Desa Sade adalah bukti nyata bahwa modernitas dan tradisi bisa berjalan seiring, selama ada kesadaran kolektif dan komitmen untuk menjaga akar budaya. Desa ini tidak hanya penting bagi masyarakat Sasak, tapi juga bagi kita semua yang mendambakan dunia yang lebih berakar dan bermakna.

Gambar Pendukung

Gambar 1: Arsitektur Rumah Bale Tani di Desa Sade

rumah bale tani

Gambar 2: Perempuan Sasak Menenun Kain Songket

penenun sasak